Buletinmalut. TERNATE – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara bersama Koalisi Barisan Rakyat (Kobar) melakukan aksi Jastisce Iklim.
Aksi tersebut di gelar karena merespon Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Summit Bali dan kemudian di lakukan dengan membentang spanduk pada beberapa titik wilayah Ternate seperti kediaman Gubernur Malut, taman Nukila dan taman Landmark Ternate.
Koordinator Aksi, Julfikar Sangaji mengatakan, bila menuntut keadilan Iklim adalah meminta kepada negara untuk mencabut seluruh izin usaha yang dapat merusak. Mengingat Maluku Utara (Malut) sebagai provinsi kepulauan, di mana kawasan daratan Malut begitu kecil yang persentasenya 21% daratan sedangkan 79% kelilingi perairan atau lautan.
“Karena kecil seharusnya pemerintah tidak membebani dengan menumpukkan beragam izin usaha, apalagi usaha yang notabene dapat menimbulkan daya rusak layaknya tambang,” ujarnya, Senin (14/11/2022).
Lanjutnya, fakta sudah lebih dari 2 juta haktare lahan di daratan telah caplok oleh korporasi, seperti mereka pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat, Industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik itu emas, nikel, biji besi serta pasir besi.
Menurutnya, rakyat Malut hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi karena hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis namun telah gundul menyisahkan kubangan serta pemicu kehilangan hutan adalah tambang seperti sawit dan industri kayu namun hal tersebut tidak akan di lakukan pembabatan hutan oleh korporasi jika tidak di bubui stempel ilegal dari pemerintah.
“Artinya kehancuran daratan Malut, dalang utamanya ialah pemerintah. Di sisi lain kehancuran pada sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang mana terancam limbah tambang hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit belum lagi diperparah dengan krisis Iklim yang membuat desa-desa pesisir harus tenggelam perlahan waktu,” jelasnya.
Dirinya juga menyebutkan, sementara di bagian selatan Malut, rakyat di Obi (Halmahera Selatan) terus menyaksikan setiap waktu pohon ditumbangkan dan tanahnya dikeruk oleh PT Harita Group, serta korporasi ekstaktif lainnya dan di Gane, semenanjung selatan pulau Halmahera.
Olehnya itu, hamparan hutan primer bahkan wilayah kelola rakyat harus kolaps dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman sawit oleh PT Gelora Mandiri Membangun anak Usaha PT Korea Indonesia (Korindo) Group.
“Tidak luput di Tengah hingga Timur pulau Halmahera pohon tumbang tanpa jedah mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif dilakukan oleh puluhan korporasi nikel, puluhan tambang nikel itu kemudian di suplai material tanahnya ke PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (Iwip) (perusahaan asal Tiongkok-Cina). Namun itu pemerintah berdalih kehadiran mereka terus disebut sebagai solusi kesejateraan, alih-alih mendatangkan justru nestapa bagi rakyat dan lingkungan hidup,” pungkasnya.
Fakta dilapangan memperlihatkan, sungai tersedimentasi tambah dengan jumlah yang banyak membuatnya berubah warna sepanjang waktu, burung-burung kehilangan rumahnya, banjir menjadi langganan, bahkan orang miskin terus menjamur.
Ia Tambahkan, Badan Pusat statistik (BPS) Malut merilis sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak di Maluku Utara dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa. Itu artinya kebijakan mendatangkan investasi merupakan langka fatal yang sudah dilakukan pemerintah, namun tidak kunjung diakui lantas mencabut izin usahanya kemudian mengembalikan kepada rakyat pribumi, justru sebaliknya servis terhadap korporasi adalah paling utama ketimbang urusan rakyat.
“Hal itu nampak jelas saat status Proyek Strategis Nasional (PSN) sampai Objek Vital Nasional (OVN) didapatkan PT IWIP dan PT Harita dari pemerintah. Padahal operasi kedua Raksasa Tambang tersebut hanya membuat kota-kota di China, Eropa, dan Amerika menjadi hijau dan ramah terhadap lingkungan sementara Maluku Utara harus menanggung kerusakan yang tiada pulih akibat itu. Dan saat ini para pemimpin Negara-Negara itu sedang berkumpul mengggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, dan tidak lebih pertemuan itu hanya memperparah situasi iklim,” tutupnya.. *(Abril)
Narahubung : Julfikar Sangaji/082112142227