banner 140x600
banner 140x600
BULETIN NEWS

DIA DAN PUISI

197
×

DIA DAN PUISI

Share this article

Oleh : M. Asgar Tapalaola.

(Anggota Forum Insan Cendikia)

Arga, pria santai, Dengan tatapan yang tenang dan senyum yang tidak tak mudah lepas, ia bagaikan pujangga, penyair yang menggubah sajak-sajak tak terduga di setiap tarikan nafasnya.

Di dunia yang penuh kebisingan, Arga mampu menemukan keindahan dalam kesederhanaan. Di bawah langit senja, di teras rumah Ulan yang sederhana, Arga sering menyelipkan secarik kertas kepada Qalbi, seonggok wanita bergaya moderen, dan pastinya cantik–setidaknya itu kata Araga.

Kertas lusu itu berisi puisi-puisi kecil yang bagaikan panorama aurora penuh warna. Kadang tulisan yang berupa bait ringan, terkadang juga sebuah kalimat yang menyentuh perasaan.
Qalbi, dengan gaya santainya yang khas, selalu menerima puisi-puisi itu bermandikan senyum profesional.

“Mana dari celah keindahan ini yang kau rencanakan tuk buatku senyum?” ujarnya sembari membaca puisi Arga dengan mata yang berbinar, meski tanpa menanggapinya secara serius.
Arga hanya tertawa pelan. “Itu memang sudah dari intisari hati”

Qalbi meliriknya dengan sedikit keraguan. “Semua karyamu itu ada unsur akunya ya?” Tanya qalbi.

Arga mengangkat bahu dengan santai. “biar saja, kadang kata itu memang lebih leluasa terwujud dibanding tindakan” sambung arga.

Semakin hari, Arga semakin tenggelam dalam perasaan yang tak terungkap. Puisi-puisi yang semula sederhana mulai berubah menjadi lebih agresif menerjang, bagaikan derai sungai tanpa bendungan.

Pada suatu malam, dengan penuh keyakinan, selepas berbincang di halaman rumah ulan, Arga menyerahkan sebuah puisi:

“Cantik, ada senja di kornea matamu
Melahirkan gudang misteri penyulut rindu yang belum sempat kutulisi
Menjadi sajak yang berlarut-larut ingin kurampungkan.”

Qalbi membacanya perlahan, dan untuk pertama kalinya ada sunyi antara dua insan ini. Ia menatap Arga dengan tatapan penuh tanya.
“Kenapa puisi-puisimu makin dalam saja Arga?” suara lembut itu bertanya.

Arga tersenyum, meski ada kesan kerisauan bertahta pada dua matanya.
“Qalbi, nama itu sudah cukup jadi alasan untuk jangan kau tanyakan lagi. Tenang, tak ada niat untuk melebihi dari ikatan bebas yang sering kau sebut persahabatan ini. Walau yang indah itu kau lebih tahu.” tegas arga

Qalbi terdiam, dan dalam hening itu, Arga bisa merasakan ketidakpastian yang bersarang di hati Qalbi.

Beberapa hari kemudian, Arga merasakan gelombang perasaan yang tak bisa lagi ia bendung. Di ruang sepi, suara detak jam menmani, Arga menulis puisi—puisi yang kali ini dipenuhi tulus dan berani. Saat Qalbi datang, Arga menyodorkan puisi tersebut, kali ini dengan nada yang lebih serius, seolah ingin berperang:

“Qalbi, jika cinta yang kau ingini itu sahabat, maka cukup selamanya kita begini, namun jika cinta adalah keberanian, maka inilah kecukupanku dalam kenyataan mencintaimu.” Pinta arga.

Qalbi terdiam. Kertas itu jatuh mengarah ke meja, sementara matanya tak kunjung lepas dari tulisan yang baru saja dibaca. Untuk pertama kalinya, dia merasakan getaran yang tak terjelaskan. Perasaan itu, yang selama ini terselubung dalam keambiguan, kini terasa begitu nyata.
“Ga,” suara Qalbi pecah, melayang di udara seperti bisikan topan lembut.
“kenapa mesti begitu? Yang paling kutakutkan itu kehilangan, dan persahabatan ini terlaku manis untuk resiko kehilangan ini”

Arga menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri, meski ada sedikit ketegangan yang tak manusiawi untuk tersembunyi.

“Qalbi, aku tak suka menyebut nama cinta, karena mungkin lebih realistis jika kusebut menyukai. Qalbi, aku juga takut kehilangan, maka terpikirkan untuk lebih merasakan. Jangan ada ragu dibagian manapun sisi hatimu, karena yang kuharapkan sekedar menghilangkan ketakutan ini” jelas arga.

Qalbi menatapnya dalam diam, hatinya bergejolak. “aku.. aku bingung, tapi jika kata aku suka kamu memberi kelonggaran dalam ikatan yang sudah manis ini, maka aku takut”

Arga tersenyum lembut, meski di dalam hatinya ada sedikit luka terlukis. “Sudah kubilang untuk jangan ragu, aku masilah Arga yang sama bagaimanapun kau menghakimi pengakuan ini.”

Waktu berlalu, dan meski rasa di hati tak berubah, Arga tetap menghargai persahabatan mereka. Qalbi, yang mulai melihat Arga dengan cara yang lebih berbeda, memutuskan untuk berbicara lebih jujur. Malam tenang di beranda, Qalbi menatap Arga dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya.

“Kamu tahu? kadang aku bingung, harus bagaimana menafsirkan puisimu”

Arga memandangnya, senyum santainya merekah.
“ya, yang asalnya dari hati memang sulit ditafsirkan”

Qalbi, yang manis itu terserah padamu, asal jangan terlalu jauh.”

Qalbi tertawa, merasa lebih lega.
“seandainya jauh, ya tinggal kau suruh balik saja”

Arga hanya mengangguk, sembari memyodorkan lipatan kertas berisi puisi:
“Jagapun-jagalah,
Jangan lama.
Mimpipun-mimpilah,
Aku suka itu

Tidurlah wanitaku,
Sudah larut,
Besok ada yang lebih masuk akal lagi
Dan kujelaskan perihal fierzah besari”

Arga dan Qalbi tetap menjalani hidup mereka, tetap sebagai teman yang saling mengerti satu sama lain. Arga terus menulis puisi—bukan untuk memaksa perasaan, tetapi untuk merayakan keberadaan Qalbi dalam hidupnya. Sementara Qalbi, meski tidak bisa membalas perasaan itu, tahu bahwa ada keindahan dalam setiap kata yang ditulis Arga.

Arga tidak pernah berhenti menulis, karena ia tahu bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak harus memaksa, tetapi justru merayakan keberadaan orang yang kita cintai—tanpa mengharapkan apa-apa selain kebersamaan.

banner 336x280
Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!